Mewaspadai Revisi UU KPK

Politik, menurut Plato adalah the art of caring for the souls, meaning that the duty of political rulers is to cultivate moral virtue or excellence in their citizens, seni merawat jiwa. Politik juga membutuhkan kesamaan antara pikiran, ucapan dan tindakan. Politik membutuhkan hati, bela rasa (compassion), dan komitmen yang berkelanjutan tanpa henti, seumur hidup.

Karena itu, tugas politisi adalah menanamkan nilai-nilai kebajikan pada para warganya. Tujuan politik seperti itu hanya bisa diwujudkan oleh politisi otentik. Artinya, politisi yang tidak ahistoris dengan permasalahan-permasalahan rakyat, persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat. Tidak tercampur dengan obsesi pribadi atau niatan jahat. Niatan yang tak lain adalah persekongkolan penjarahan atas nama pembangunan, dan memuluskan tindak kejahatan besarnya yang tidak ingin dianggap sebagai kejahatan.

Gelombang penolakan publik terhadap rencana revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) tampaknya belum menghentikan sepenuhnya upaya revisi UU tersebut di sisi legislasi. Senin (22/2/2016) kemarin, Presiden Joko Widodo dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat telah sepakat untuk menunda pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Penundaaan tersebut, memberikan harapan yang melegakan bagi publik, tetapi juga memunculkan persepsi bahwa revisi UU KPK tetap dipertahankan dan menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR tahun 2016, serta berpotensi terjadinya barter politik.

Sementara itu, dari sepuluh fraksi yang ada di DPR, tujuh fraksi meyakini rencana revisi UU KPK masih diperlukan dan tetap masuk ke dalam Prolegnas 2016, yakni Fraksi PDI Perjuangan, Nasdem, Hanura, PKB, PPP, Golkar, dan PAN. Adapun, tiga fraksi yakni fraksi Gerindra, Demokrat dan PKS menyatakan menolak dan mencabutnya dari Prolegnas dengan alasan substansi revisi dianggap melemahkan dan membunuh KPK.

PERJALANAN UPAYA MEREVISI

Sejatinya, wacana merevisi UU KPK telah digaungkan sejak jauh hari. Dalam rekaman media massa dan pegiat antikorupsi di Indonesia, terdokumentasi bahwa usulan revisi UU KPK pertama kali dilontarkan di tahun 2010 oleh Komisi III DPR. Di tahun berikutnya, proses untuk mendorong direvisinya UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK itu terus berjalan, dengan memfokuskan 10 poin revisi, diantaranya adalah: kewenangan KPK merekrut penyidik dan penuntut, kewenangan menyadap, kewenangan KPK melakukan penyitaan dan penggeledahan, dan tentang surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Tahun 2012, Panitia Kerja (Panja) Revisi UU KPK di DPR akhirnya memutuskan menghentikan pembahasan revisi itu. Seluruh fraksi di DPR RI menolak revisi UU KPK, seiring masifnya suara publik yang menolak upaya revisi tersebut yang kemudian juga dipertegas dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menolak pelemahan KPK.

Setelah ‘hibernasi’ selama  hampir 3 tahun, usulan revisi UU KPK muncul kembali ke permukaan yang ditandai dengan masuknya Revisi UU KPK dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2015. Dari draft revisi yang menyebar ke publik pada bulan Oktober 2015 lalu, ada belasan poin krusial yang dinilai banyak pihak berpotensi melemahkan KPK. Mulai dari usulan pembatasan usia institusi KPK hingga 12 tahun mendatang, pembatasan kewenangan penuntutan, penyadapan, membatasi proses rekruitmen penyelidik dan penyidik secara mandiri hingga pembatasan kasus korupsi yang dapat ditangani KPK. Di bulan yang sama, DPR dan Pemerintah akhirnya menyepakati untuk menunda pembahasan revisi UU KPK hingga masa sidang selanjutnya di tahun 2016.

Tak menunggu lama, di bulan Januari 2016 DPR RI menyepakati Revisi UU KPK masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional 2016. Kali ini, setidaknya ada 4 poin utama yang menjadi sasaran dalam revisi, yaitu: pembentukan dewan pengawas KPK, penyadapan, Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), serta pengangkatan penyelidik dan penyidik independen KPK. Kali ini pun, masyarakat yang tak kenal lelah mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia mengumandangkan suara penolakannya terhadap upaya revisi UU KPK. Sebuah petisi yang digagas seorang pegiat antikorupsi yang menolak revisi, kini telah mengumpulkan 59 ribu tandatangan dukungan.

Berikut ini adalah catatan perjalanan revisi UU KPK sejak tahun 2010 hingga saat ini, yang dikutip dari berbagai sumber.

PETA BURAM PEMBERANTASAN KORUPSI

Mengutip pendapat Aristoteles, manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik dan tujuan personal kepada publik melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya itu, manusia akan mengembangkan beragam perilaku-perilaku, tak terkecuali perilaku menyimpang – yang mendukung perannya, peran sebagai politisi. Apabila itu yang terjadi, politik kehilangan jiwanya; politik kehilangan nilai “keadaban”-nya. Inilah yang disebut sebagai politik tanpa politisi. Politik tidak berjiwa, politik tidak berkeadaban karena banyak orang berpikir bahwa dirinya mampu menjadi politisi, padahal sesungguhnya ia hanyalah aktor yang kehilangan integritas, manusia kehilangan jiwanya.

Kesepakatan Presiden Jokowi dengan Pimpinan DPR dalam menunda revisi UU KPK memberikan harapan yang bersifat sementara. Publik masih menunggu langkah tegas dan radikal yang patut dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam turut andil sebagai panglima tertinggi dalam perang melawan korupsi di Indonesia. Sejak tahun 2015, dan tahun 2016 kini, komitmen dan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum terlihat jelas baik itu di pihak Pemerintah, apalagi DPR.  Turbulensi politik yang mengepung kebijakan Presiden Jokowi dalam memberantas korupsi dan penegakan hukum, masih tersandera dan dilumpuhkan oleh partai politiknya sendiri dan parpol pendukungnya.

Ahmad Syafi’i Maarif dalam esainya menulis, bahwa kepentingan elit  politik baik itu DPR, Presiden, Wapres hingga menterinya belum atau tidak menghendaki pemberantasan korupsi secara radikal. Pemerintah khususnya, sebagai institusi yang diberi mandat penuh oleh konstitusi untuk berdiri paling depan melawan korupsi sebagai kejahatan yang menyengsarakan rakyat – kehilangan visi bagaimana strategi pemberantasan korupsi di Indonesia itu dijalankan. Pemerintah yang punya segala-galanya untuk bertindak: kekuasaan, aparat, dana dan undang-undang – sepatutnya menghimpun kembali segala sumber dayanya untuk fokus dalam menyusun dan melaksanakan strategi nasional pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi akan dapat dilumpuhkan secara telak oleh generasi yang memiliki integritas dan idealisme yang tahan banting, bukan idealisme  musiman yang rentan terhadap godaan benda dan kekuasaan. Ke arah jalan lurus inilah seharusnya para politisi melangkahkan kaki untuk Indonesia yang adil, beradab dan bermartabat.

Di sisi yang lain, parlemen atau DPR secara nyata selalu gagal dalam meyakinkan publik bahwa mereka memiliki agenda dan komitmen dalam pemberantasan korupsi. Parahnya, kini mereka secara terang benderang membuat settingan untuk menghentikan upaya pemberantasan korupsi melalui insiatif revisi UU KPK. Hal itu bisa dengan sangat mudah dibaca motifnya, karena soko guru parlemen adalah parpol-parpol yang tidak punya komitmen kuat terhadap pencapaian substansi demokrasi dan politik. Misi parpol masih sebatas memperalat demokrasi untuk mencapai kekuasaan, ibaratnya pokoknya menang pemilu, jadi DPR, jadi menteri, jadi wapres atau jadi presiden. Karena kekuasaan adalah yang terpenting, maka upaya pencapaian maupun mempertahankan kesempatan itu dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan korupsi, lalu berkelit dengan beragam jurus dari jeratan hukum.

Maka, upaya reformasi parlemen patut terus dihembuskan. Sasaran perbaikan akuntabilitas tidak saja dikenakan kepada mekanisme kerja kelembagaan DPR tetapi juga perorangan anggota DPR. Ada kewajiban membuka seluruh sidang di DPR, setiap anggota dan alat kelengkapan DPR diwajibkan membuat laporan kinerja tahunan ke publik. Perbaikan tersebut, juga harus dimulai dari perbaikan akuntabilitas partai-partai politik. Sama seperti reformasi kelembagaan lainnya, keberhasilan reformasi ini tergantung pada komitmen politik pimpinan parpol. Fenomena praktek oligarki maupun kartel menguatkan hipotesa betapa sentral dan vital visi pribadi pimpinan parpol dalam melaksanakan transformasi lembaganya. Ini kebutuhan mendesak sehingga parpol dapat efektif meningkatkan mutu demokrasi ke tingkat substansi yang seharusnya.

Jika dikembalikan pada pernyataan Plato, bahwa politik adalah seni merawat jiwa. Tugas politisi adalah menanamkan nilai-nilai kebajikan pada para warganya. Maka menjadi suatu tanda tanya besar, apakah para pimpinan parpol masih ingat dengan tugasnya dalam melayani dan menanamkan nilai kebajikan kepada warganya? Apakah presiden, wakil presiden, menteri dan para wakil rakyat memahami bagaimana seni merawat jiwa, seni menabur kebaikan kepada rakyatnya? Jika rakyat memintanya untuk menghentikan upaya revisi UU KPK, akankah mereka mendengar suara itu?

“Revisi UU KPK bagi kami bukan hanya melemahkan KPK tapi membunuh harapan dan asa ratusan juta penduduk Indonesia yang terus bermimpi Indonesia bebas dari korupsi.”

Like
Like Love Haha Wow Sad Angry

Check Also

Busui Wajib Konsumsi Ini! Rekomendasi 7 Makanan Untuk Memperbanyak ASI

Hai Sahabat Sehat!! ASI (Air Susu Ibu) adalah salah satu anugerah terindah yang dapat diberikan …

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments